Rabu, 15 Juni 2011

Rose, wanita penuh cinta dari Blitar 1

Menyimak berita di TV 
mengenai banjir dan tanah longsor bikin ngeri
Ini semua bagaikan misteri
Apakah ini salah satu rahasia Ilahi

Tawangmangu
Kudengar beritamu beberapa hari yang lalu
Letakmu yang berada dilereng Gunung Lawu
Porak poranda membawa pilu
bagi penduduk yang beribu ribu

Kududuk termangu didepan TV
Melihat berita dan menangisi
seluruh apa yang terjadi 
banjir, longsor, adalah sejenis tragedy
Ribuan penduduk yang perlu dikasihani

Kupernah torehkan memori di losmen itu
bergulat dengan Sri tanpa kenal waktu
Penuh birahi dan penuh nafsu
menikmati indahnya tawangmangu.

Berita terakhir yang kudengar
membuat hati dan jantung berdebar
Seluruh kata kata penyiar
menjadi sebuah hal yang tidak benar. [selah olah tidak mungkin]

Aku harus bisa menerima
semua hal itu telah sirna
ketika aku mendengar seluruh berita.
Di pagi dan malam selasa.

Tawangmangu 
keindahanmu
masih terkenang selalu
didalam hatiku.

Setelah mengantar Sri ketravel yang mengantarnya ke Malang, aku duduk termangu di kantor travel itu. Melihat kepergiannya Sri, membuat hatiku merasa kosong kembali. Tapi pikiranku tidak tenang. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Cita citaku masih jauh kutempuh dan perjalanan hidup masih panjang. 

“Mbak, trima kasih ya…….” kataku kepada penjual tiket travel sambil berjalan keluar. Cuaca agak buruk, langit gelap dan awan menggantung tebal dilangit. Cuaca bulan Desember memang seperti ini. Hujan akan segera turun dan memandikan bumi serta membasahi tanah tanah yang gersang dan kering.

“Mas Polie………..terima kasih, kamu menorehkan sebuah kenangan indah didalam hidupku. Aku tidak tahu apakah kita akan masih bisa bertemu. Mas……….nanti kalau ada waktu, aku akan menulis sebuah surat untukmu. Aku janji aku akan menulis sesampainya aku dimalang.” Sri mengucapkan kata kata itu sebelum menaiki L-300 yang akan membawanya pulang. Kata kata itu terus terngiang dipikiran dan telinga hatiku. Aku hanya bisa tersenyum mengiyakan apa yang dia baru saja katakan.

Butir butir air mata mengalir turun dipipinya, butiran itu ku seka dengan jariku dan kupeluk dirinya dengan pelan dan lembut. Kelembutan itu memancarkan kehangatan yang tidak dipaksakan dan itu membuat Sri ingin membatalkan kepulangannya. 
“Mas………..didekat sini apa tidak ada hotel?” katanya ingin tahu
Ada, Sri………disana didekat jalan besar itu ada sebuah hotel namanya Hotel Dana” memang kenapa Sri?” tanyaku balik

“Aku tidak ingin pulang mas………., aku ingin berada disini bersamamu. Aku rasanya berat sekali meninggalkan tempat ini dan dirimu.” Katanya lugu.
“Sri……….tiketnya udah dibeli, dan siapa tahu keluargamu menunggumu disana” Jangan menunda lagi……..kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Jangan lupa menulis surat bila kau sampai disana. Aku juga berat melepaskanmu disini. Aku ingin juga menemani perjalanan ke Malang bersamamu. Tapi waktukupun juga tidak banyak Sri………semoga kita masih ada waktu lagi bersua.” Kataku dengan berat, kulambaikan tanganku memelototi mobil minibus itu berlalu. 

Aku berjalan kearah selatan menuju kelurahan kratonan dimana tanteku tinggal. Seorang tukang becak menghadang jalanku dan matanya menyelidiku. 
“Mas Polie…………?” tanyanya dengan senyum persahabatan.
“Inggih mas……..penjenengan sinten? Dalem kesupen” tanyaku ingin tahu.
“Walah………..aku iki Purwadi……….tetangganya budhemu” jelasnya
“Mas Purwadhi toh…..?” kataku agak heran

“Ayo aku antar ke tempat Budhe?” katanya sambil menggerakkan becaknya.
Aku menggeser badanku dan menundukkan kepala ketika akan menaiki becak Surakarta yang begitu tinggi dan gagah. 

“Perjalanan ke Kratonan tidak makan waktu lama karena memang dekat dan setelah memberikan uang, aku memasuki pekarangan budheku yang bersih dan teratur. Beberapa malam tinggal disana dan melewatkan rasa sedih sepeninggal Sri. Pulang ke Kartosuro menengok Ibu seperti sebuah tugas yang berat. Belum nanti interview dan pertanyaan pertanyaan seperti wawancara dan inspeksi yang harus aku jawab. Tapi aku harus pulang ke pangkuan ibu yang selalu mengharapkan anaknya berbuat hal yang benar dan kebajikan.

Ibu membukakan pintu saat aku hadir didepan, memegang tas yang berisi pakaian kotor dan beberapa buah tangan yang aku bawa dari Surakarta. Senyumnya mengembang dengan mata setengah tak percaya melihat anak bungsunya berdiri diseberang pintu yang dia buka. 

“Kenapa tidak beri kabar kalau mau pulang. Ibu bisa masakkan sayur kesukaanmu dan menggorengkan limpung [ubi jalar goreng] kesukaanmu” katanya sambil memelukku.

“Aku mau bikin surprise” jawabku. Pelukan ibuku kubalas dengan pelukan dan kucium pipinya sambil menepuk punggungnya yang gemuk. “Aku kangen sama ibu…..bisikku kepadanya. Aku ngga bisa lama lama dirumah, bu.” Kataku kepada ibuku
“Memangnya kenapa kok buru buru?” tanyanya dengan heran.
“Toko disana tidak bisa ditinggal lama lama, baru buka masih mencari pelanggan.” 
kataku memberi alasan. Keberadaan ibu menetralisir pikiran dan hatiku. Kesedihan dan kegundahaan sepeninggal Sri seolah olah penuh kembali. Ibuku merasakan apa yang aku rasakan. Tapi nampaknya ibu hanya bisa merasakan, tidak mau ikut campur tangan.
Beberapa hari tinggal disana membuatku agak fresh, pikiran agak senang dan bayangan Sri agak sirna. Ibu yang sangat mengasihi dengan sepenuh hati. 

“Pakdhemu yang tinggal di Sragen minta kamu mampir sebelum kamu kembali ke Jawa Timur. Dia mau kamu ngajari anaknya mathematika selama beberapa hari disana.” Kata ibuku

Pakdheku tinggal disebuah daerah pinggir dengan semak belukar dan kerumunan pohon pohon bambu mengitari rumahnya yang kaya dengan berbagai macam tanaman dan tumbuhan. Berpetualang ditempat ini sungguh mengenakkan pikiran dan udara yang segar terasa sangat mahal bila kita berada di kota yang sesak seperti sekarang ini.

“Pakdhe…….itu tanaman apa ya kok merambat?” kataku bertanya kepadanya sambil menunjuk sebuah tanaman dengan buah berbulu lebat kuning. Buah buahnya tidak banyak tetapi tanaman itu merambat kemana mana sehingga buahnya yang bergelantungan itu bisa nampak jelas diantara daun daun hijau. 
“Itu rawe……. Jangan pegang atau terkena tangan, bulu bulunya akan membuat gatal seluruh badan.” Jelasnya.
“Terus kalau terkena bagaimana menyembuhkannya?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu harus lamuri badanmu dengan abu supaya hilang gatal gatalnya.” Jelasnya.

Aku tertarik memetik dan membawanya kembali ke Sidoarjo. Aku tidak tahu akan aku gunakan untuk apa buah rawe itu. Aku petik beberapa buah dan memasukkannya kedalam plastik gula, kira kira ada sepuluh buah yang aku masukkan kedalamnya. Tinggal di Sragen selama beberapa hari membuat kepala dan pikiran agak jernih. Hatiku sudah ingin cepat kembali ketoko dan bekerja lagi. Melayani dan menghitung uang setelah toko tutup dan melakukan beberapa kegiatan baru. Bermain bola basket dengan Maria dan beberapa temannya.

Sesampai di sidoarjo, aku kerumah Mas Jaya ngabari tentang ibu dan keadaanya. Ada beberapa makanan kesukaan mas Jaya yang aku bawa dari Kartosuro. Karak Goreng rasa terasi yang kubeli di Pasar Gedhe juga beberapa krupuk puli yang dibungkus dalam satu kiloan. 

“Kamu berangkat jam berapa tadi dari Kartosuro?” katanya bertanya. 
“Aku dari Sragen………..aku tinggal di rumah pakdhe selama tiga hari” jawabku
“Ngapain saja kamu disana?” tanyanya.
“Dholan dan ketemu sepupu.” Jawabku singkat.
Ada kerjaan di toko, kenapa malah dholan ke rumah pakdhe, katanya mau kuliah kenapa kau tinggal. Buat apa buka toko kalau kau tinggal begitu?” kata katanya mengagetkanku.

“Bukankah aku sudah pamitan kalau aku mau pulang ke Kartosuro” jawabku balik
“Ya sudah sana ………., tidak usah buka hari ini. Jangan lupa bersihkan toko yang telah kau tinggal pasti banyak debunya.” Perintahnya.

“Siapa yang akan membantuku Mas…..?” tanyaku
“Nanti biar slamet yang mengantar Roseminah kesana, biarkan dia selesaikan pekerjaannya disini.” Jawab Mas Jaya. 

“Dimana keponakanku……?” tanyaku tiba tiba.
“Mamanya bawa pulang ke Palembang………..” jawabnya tanpa menoleh ke aku.
“Ya sudah aku pergi ke toko pasar” kataku, berjalan ke arah meja dimana kunci toko terletak dan keluar memanggil becak.

Kubuka tokoku dan aku mencium bau ruangan yang beberapa hari tidak berpenghuni.

Aku berjalan keatas dan bersiap siap akan mandi. Gerah sekali hari itu dan perjalanan melelahkanku. Kubuka tas pakaianku dan buah rawe yang ku petik dari kebun pakdheku teronggok didalam tas itu. Kuambil plastiknya dan kuangkat guna melihat apa seperti apa modelnya. Mungkin suatu saat akan berguna.

Rose datang kira kira jam lima sore, dia membawa tas kopor kecil berwarna merah bertuliskan Polo. Ada sebuah gambar orang menunggang kuda dan mengayunkan sebuah stick seperti stick golf. Dia mengetuk pintu toko keras dan aku turun tangga untuk membukakannya.

“Jangan keras keras kalau mengetuk pintu!” kataku memperingatkan. 
“Maaf mas……kebiasaan di rumah sana kalau ngetuk pintu harus keras keras.” Katanya menjawab.
“Kamarmu diatas Rose………..pintunya terbuka. Kamu bersihkan dulu sebelum kamu taruh baju bajumu dilemari. Terus bantu aku ngepel ditoko ya.” Kataku.
“Mas Polie baru datang ya?” tanyanya tanpa menoleh kepadaku.
“Iya………’jawabku
“Mas……..aku perlu masak nasi tidak?” tanyanya kepadaku.
“Ya……….kamu masak nasi dulu saja, supaya kita tidak kelaparan setelah memberishkan ruangan.” Jawabku.

Rose bergegas menuju kedapur dan mencuci beras. Gerakannya gesit dan lincah dan kelihatan tidak canggung dengan lingkungan baru. Aku memandangi bagian belakang tubuh Rose. Dia memakai rok pendek sebatas lutut dan menunjukkan tungkai yang bersih. Badannya tidak terlalu tinggi mungkin hanya 155 kurang lebih. Punggungnya meluncur kebawah dan pinggulnya cukup indah. 

“Rose………..?” kataku.
“Ya mas……….?” Tanyanya cepat
“Kamu berasal dari mana? Tanyaku
“Saya dari Blitar.” Katanya singkat
“Jauh tidak dari sini ke Blitar?” tanyaku melanjutkan.
“Ya jauh mas……kira kira 4 jam kalau naik bis dan dilanjtukan lagi naik angkot kira kira 45 menit” katanya 

“Siapa yang membawa kamu kesini?” kataku ingin tahu.
“Ada teman yang kerja di Tropodo dan selalu belanja di tokonya Mas Jaya” katanya
“Kamu suka tidak kerja di sini?” tanyaku lagi
“Ya senang toh mas………bisa melupakan suami yang kerja di Arab Saudi” katanya menjelaskan.

“Loh …..memangnya kamu sudah menikah apa?” tanyaku bego
“Iya mas…….orang tua yang mau. Jadi apa boleh buat, menolak kemauan orang tua takut kalau kualat. Jadi aku jalani saja.” Katanya sambil mencuci beras.
“Lah suamimu kok meninggalkan kamu kerja di sana itu apa tidak khawatir?” tanyaku menggoda.

“Khawatir apa mas……..?” tanyanya
“Ya khawatir kalau istrinya yang ditinggal di desa diambil orang?” kataku.
“Ya tidaklah mas……..mana ada yang mau mengambil saya? Aku ini kan gadis desa, mana ada yang mau?” katanya
“Aku mau Rose………..!!!!!!” hatiku berteriak

Rose terus menyiapkan makanan dan aku turun kelantai bawah. Teringat kakinya yang bersih dan lincah bergerak kesana kemari. Aku membersihkan ruangan toko dan merapikan barang barang sebelum aku buka besok paginya. Kenangan dengan Sri…..[Baca dulu Sri, sebuah nama yang tak terlupakan] berada ditoko mengelebat seperti film yang bergerak cepat. Masih teringat kata kata terakhirnya dimana Sri mengatakan “Mas tidak sulit mendapatkan gantinya.” Aku berpikir sejenak dan tersenyum dengan apa yang dikatakan Sri kepadaku. Tidak banyak hal yang hilang tentang Sri didalam pikiranku. Kadang muncul dan membuat rindu yang dalam. Kadang menghibur hati dan menimbulkan rasa gembira. Sri memang special, bagaimana dengan Rose? Aku tidak tahu, bagaimana sikapnya. Yang jelas dia berasal dari desa dan bekerja disini dengan aku.

Rose bersenandung dilantai atas, suaranya terdengar merdu dan lagu yang disenandungkan adalah lagu dangdut. “Ada suara baru di ruko ini” pikirku. Selama ini hanya ada beberapa suara bila toko sudah tutup. Pertama adalah suara TV, kedua adalah suara laser disc, atau radio. Ketiga adalah suara air kran bila dinyalakan. Suara senandung Rose adalah suara yang hidup. Suaranya terdengar gembira dan mencerminkan “Aku betah disini, aku senang disini” 

Kunyalakan lampu toko sehingga aku bisa bekerja dengan baik. Kuatur barang barang yang berserakan ataupun barang barang yang baru datang dan masih berada di kerdus dan kotak kotak kecil. Ada catatan dari Mas Jaya tentang harga dan jumlah yang tertera di atas setiap kerdusnya. 

“Rose menuruni tangga dan berjalan turun, senandungnya tidak terdengar lagi. 
“Mas Polie……….saya kerjakan apa lagi?” tanyanya kepadaku.
“Kamu ambil pel dan bersihkan ruangan toko. Ambil sapu sekalian dan ember ditempat cucian baju.” Perintahku.

Pekerjaan hari itu sangat melelahkan tetapi aku suka melakukannya. Rose membantuku hingga aku selesai. Kira kira jam 8 malam semua pekerjaan selesai. Aku berjalan ke lantai atas dan mengambil handukku sebelum masuk kamar mandi. Aku nyalakan radio di Laser Disc compo Pioneer didalam kamarku yang di berikan mas Jaya sebelum aku pulang ke Kartosuro. Suara Rose terdengar mengikuti alunan lagu yang disiarkan oleh stasiun radio tersebut. 

“Wah bisa diajak karaoke” pikirku sejenak. Suasana sangat meriah dengan hadirnya Rose di toko ini mengubah sebuah suasana sebelumnya. 

Keluar dari kamar mandi, tidak kulihat Rose dilantai 2. Hanya makanan yang tersedia di meja. Nasi dan mie kuah yang tadi ku minta Rose masak sudah terhidang di meja. “Kenapa hanya satu saja” pikirku.

“Rose, ……………..kamu dimana?” teriakku dari
“Aku sedang dikamar mandi?” jawabnya membalas.
“Kenapa kamu mandi di bawah? Lain kali kamu mandi disini saja.” Kataku memberitahu.

Aku turun tangga ingin mengunci pintu toko yang tadi lupa kulakukan. Walaupun telah kututup tetapi belum kukunci. Aku menuruni tangga dan melihat lampu toko menyala. Aku heran mengapa lampu menyala.

“Rose……..?” kataku lagi.
“Aku didalam sini, mas.” Jawabnya
“Kenapa kamu mandi dikegelapan begitu?” tanyaku
“Lampu kamar mandinya mati mas” katanya menjelaskan. Lampu toko aku nyalakan supaya agak terang sedikit.” imbuhnya lagi.

Aku mendekat kepintu kamar mandi dan menekan tombol lampu kamar mandi. Menggerakkannya ke atas untuk mencoba menyalakannya. “Klik” dan aku menengok kedalam kamar mandi. Lampu bisa menyala dan aku melihat Rose sedang telanjang dada sedang berhandukan mengeringkan bagian tubuh bawahnya.

“Weeeeeeeeeiiiiiiiiiii” Rose menjerit kaget sambil berusaha menutupi bagian vital tubuhnya. Tidak menyangka bahwa aku akan melihat kedalam. “Kenapa bisa menyala, mas?
“Sorry rose” kataku. “Aku hanya mau memeriksa saja.”
“Mas Polie mau ngintip cewek mandi ya” katanya menuduh.
“Tidak………aku tidak bermaksud mengintipmu Rose. Kamu bilang lampunya tidak bisa menyala maka aku coba nyalakan” kataku menjelaskan.
“Awas kalau mengintip lagi, aku beritahukan ke Mas Jaya.” Katanya mengancam.
“Bilang saja……….aku ngga sengaja. Aku kan hanya ingin membantu kamu. Mandi kok di dalam gelap seperti itu” kataku 

Aku kunci toko dan meletakkan kembali kuncinya digantungan. Rose keluar dari kamar mandi, handuknya dia lilitkan disekitar tubuhnya. Baju kotornya dia tenteng. Berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Aku matikan lampu toko dan melihat tubuh Rose berbalut handuk bergerak menapaki undakan tangga. Tubuhnya kecil terlihat segar setelah mandi. Mataku jalang mengamati tubuhnya dari kegelapan. Rose tidak merasa canggung dan berjalan keatas tanpa menoleh kepadaku. 

“Acara seperti ini bisa terjadi setiap hari” kataku dalam hati. Batang batreiku bergerak naik melihat pemandangan tubuh Rose. Pikiranku mengembara lebih jauh dengan pertanyaan pertanyaan lanjutan. “Dia tadi pakai celana dalam atau tidak ya dibali handuknya? Kenapa dia begitu polos memakai handuk saja keluar dari kamar mandi?” 

“Aku rindu menjamah tubuh seorang wanita, aku rindu menindih tubuh seorang wanita. Aku rindu mendekap tubuh seorang wanita. Aku rindu mendengar pekikan dan teriakan suara wanita.” Otakku berteriak teriak. Batang batreiku semakin keras terasa di balik celana yang ku pakai. 

“Mas……….kenapa ngga dimakan?” tanyanya
“Aku nunggu dingin Mie nya……….kamu tidak masak buat kamu sendiri?” tanyaku
“Tidak mas…..aku tidak lapar.” Jawabnya 
“Aku tidak bisa menghabiskan semua mie yang kamu masak, yuk kita bagi dua” ajakku
“Tidak usah mas…., Aku tidak lapar sungguh.” Jawabnya
“Aku tidak percaya…………” kataku. Aku berjalan kearah dapur dan mengambil piring dan sendok untuknya. “Nih….ayo makan sama sama” ajakku
Rose berdiri dan mengambil piring dan sendok yang aku sodorkan kepadanya. “Aku belum lapar mas…..” katanya.

“Ya sudah tapi temani dulu aku makan.” Rajukku. Aku angkat mangkok berisi mie dan menuang sedikit mie yang di mangkok keatas piringnya Rose. Rose menerimanya sambil bicara “sudah mas….sudah cukup” 
“Kamu suka menyanyi ya Rose?” tanyaku “Suaramu bagus.” Pujiku
“Iya mas…….tapi suaraku agak false” jawabnya
“Tidaklah………aku tidak dengar suaramu false” kataku menjawabnya.
“Kamu pernah tidak ikut perlombaan menyanyi?” tanyaku ingin tahu.
“Belum mas……..aku hanya nyanyi dipanggung 17 agustusan saja. Itupun waktu aku masih didesa.”

“Kamu suka lagu jenis apa?” tanyaku ingin tahu.
“Biasanya lagu dang dut. Tapi aku juga suka lagu pop” jawabnya pendek. “Mas suka nyanyi juga ya?” tanyanya balik.
“Ya sedikit sih, tapi suaraku tidak sebaik suaramu” kataku menjawab.“Kamu suka nyanyi lagu barat?” kataku ingin tahu.
“Aku kadang dengar mas………..tapi aku tidak bisa bahasa inggris.” Jawabnya.
“Ayo kita nyanyi sebentar dengan karaoke setelah makan?” ajakku. Aku ajari kamu lagu bahasa Inggris.
“Ngga deh mas……..aku malu kalau salah nanti mas akan ketawakan aku” katanya membalas. 
“Tidaklah aku kan juga belajar, kalau aku salah kamu betulkan juga ya?” kataku menenangkannya. 
Makan selesai dan Rose mencuci piring dan mangkoknya. Aku ambil piringan Laser disc yang berisikan lagu lagu ever green yang di berikan bersamaan dengan Pioneer Compo. 
“Masuk kedalam kamarku Rose?” perintahku sambil menyiapkan Microphone dan kabelnya. 
Rose agak canggung masuk kedalam kamarku dan berjalan perlahan lahan. 
“Bantu aku pegang ini…….” Kuberikan piringan Laser Disc padanya.
“Ini apa namanya mas……?” tanyanya kepadaku.
“Laser Disc……….kamu belum pernah melihat ya?” kataku bertanya
“Belum mas………ini isinya apa?” tanyanya
“Ini seperti Video tapi isinya lagu lagu.” Kataku menjelaskan “Ada juga yang berisi film tapi harus disewa” kataku melanjutkan .
“Kalau sewa dimana mas…” tanyanya ingin tahu
“Di tempat sewa rose. Perbijinya sepuluh ribu” kataku.
Kabel selesai dan TV sudah nyala, aku masukkan piringan LD yang tadi Rose pegang. Microphone sudah berfungsi. 
“Yuk kita duduk di lantai saja” ajakku. Rose mengikutiku dan duduk agak menjauh dariku. 
Aku nyalakan lagu pertama. “Hotel California” Aku nyanyikan lagu itu dan Rose melihatnya dengan seksama. Mulutnya mengikuti gerakan kata kata di TV. ………….

On a dark desert highway, cool wind in my hair 
Warm smell of colitas, rising up through the air 
Up ahead in the distance, I saw a shimmering light 
My head grew heavy and my sight grew dim 
I had to stop for the night 
There she stood in the doorway; 
I heard the mission bell 
And I was thinking to myself, 
'This could be Heaven or this could be Hell' 
Then she lit up a candle and she showed me the way 
There were voices down the corridor, 
I thought I heard them say.................

“Wah suaranya Mas Polie juga bagus……….. “katanya setelah aku selesai menyanyikan lagu itu. 
“Sekarang kamu yang menyanyi” kataku sembari memberikan Mic kepadanya.
“Ngga deh mas…….lagunya inggris semua. Aku tidak tahu.” Jawabnya mengelak.
Ada lagu bagus nomor sembilan Rose. Kamu pasti pernah dengar.” Kataku.
“Aku pencet tombol nomor 9 dan muncullah lagu yang aku mau tunjukkan kepada Rose. “Boulevard” 

I don’t know why……
You said good bye……
Just let me know you didn’t go forever my love…….
Please tell me why……

“Wah lagunya kok sedih ya mas………” katanya menyela “Tapi bagus kok mas” 
“Kamu mau nyanyi lagu ini?” tanyaku
“Belum bisa mas…….., nanti saja kalau aku sudah terbiasa aku akan nyanyikan” elaknya

Malam itu Rose hanya menjadi pendengar saja sementara aku menyanyikan lagu untuknya. Kadang kadang dia ikut bersenandung mengikuti irama dan mengucapkan kata kata di layar kaca. Suasana sangat tenang, matanya mengarah pada layar Televisi dan lagunyapun terasa syahdu. 

“Mas Polie……….lagunya bagus bagus ya!?” katanya pelan.
“Ya lumayan………kamu mau lagu yang duet?. Kamu nyanyikan bagian yang wanita aku nyanyikan bagian yang pria.” Ajakku.
“Aku mendengarkan dulu saja mas, aku belum tahu banyak lagunya. Jadi aku ngga tahu, apalagi semua lagunya dalam bahasa inggris begini. Sulit lidahku mengucapkan dan menyanyikan kata kata lagunya.” Jawabnya

“Kamu dengar dulu saja ya……………pelan pelan kamu nanti pasti bisa.” Aku membesarkan hatinya. “Memang kamu tidak pernah dengar lagu lagu ini apa?” lanjutku
“Ya tidak pernah mas………..orang desa masak suka dengar lagu lagu bahasa inggris begitu.” Jawabnya.

“Memang di desamu tidak ada radio apa?” tanyaku ingin tahu.
Ada sih…..tapi kebanyakan siarannya berita dan lagu dangdut kesukaan orang setempat. Lagu lagu seperti ini kan hanya orang kota yang tahu mas” jelasnya.
“Kamu mau nyanyi atau dengarkan saja. Aku mau tiduran capek sekali” kataku
“Aku dengar saja mas, sambil nonton.” Katanya menjawabku.
Aku berbaring dan memeluk gulingku, sambil mendengarkan lagu lagu yang ada di piringan raksasa [dibandingkan VCD dan DVD jaman sekarang]. Rose masih tetap disitu duduk didekat pintu sambil menonton dan mendengarkan lagu di karaoke yang aku mainkan.

Entah berapa lama aku terlelap, Rose membangunkan aku.
“Mas……….lagunya sudah habis. Matikan dulu mesinnya, aku sudah mau tidur mas” pintanya kepadaku.

“Ya sudah sana kamu tinggal tidur, aku matikan. Besok bangun pagi ya, bikinkan aku teh manis.” Pintaku padanya. Aku ambil remote kontrol dan mematikan TV dan compo pioneer Karaoke. Terlelap aku tidur dalam indahnya mimpi.

Keadaan seperti ini kita lakukan selama berhari hari setelah toko tutup setelah Rose mengerjakan semua pekerjaannya. Bagi rose menyanyi adalah sebuah penyaluran dari semua hasrat yang dia punya. Hampir dua minggu kita menyanyikan lagu lagu yang sama dan pada waktu yang sama juga aku membangun sebuah jembatan yang indah untuk menghubungkan kedekatan kita. 

Lagu lagu yang kita nyanyikan membuat kita semakin dekat. Kedekatan kita berawal dari duduk yang pada awalnya berjauhan, perlahan lahan mendekat. Kedekatan kami menimbulkan efek yang tidak jarang membuat aku pusing. Bila Sri masih ada disini mungkin rasa pusing itu tidak akan pernah aku rasakan. Karena rasa pusing itu mudah teratasi dengan bergelut dengannya hingga batang batreiku bocor dan meleleh. 

Aku ingin sebuah penyaluran biologis yang semakin menggenang karena penampungan sudah penuh. Mau onani rasanya sayang terbuang percuma. Kedekatan dengan Rose membuat batang batreiku meradang ingin penuntasan. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana memulai sebuah pertarungan biologis dengannya sementara keinginan terus mendesak. Selama dua minggu tidak tumpah membuat aku sangat sensitive. Ingin aku tubruk dia dan mengangkangi belahan pahanya rasanya sangat biadab. 

Sebuah hari sabtu sore, aku memutuskan untuk menyewa sebuah piringan Film Laser Disc setelah toko tutup. Kebetulan besok hari minggu dan aku bisa meminjam 2 keping. Karena aku bisa kembalikan hari senin malam sehingga tidak terburu buru harus mengembalikan Laser Disc. Satu film yang pernah populer waktu itu adalah Ghost. Dan aku meminjam piringan itu, satu lagi adalah sebuah film action “The last of The Mohican”. 

1 komentar: